Al-Fisbuqiyyah

Oleh Goenawan Mohamad


Pada suatu hari, seseorang membawa berita yang sungguh mengejutkan:
nama saya masuk sebagai warga Facebook.
Dengan gambar dan segala
keterangan.

Saya sudah lamat-lamat mendengar perkara Facebook ini. Waktu itu saya
anggap ia sebuah negeri asing, khusus untuk mereka yang mau nampang dan
butuh teman. Maka saya enggan masuk, sebab saya pikir saya tidak suka
nampang (sebuah dugaan yang sangat keliru, ternyata). Tapi kemudian ada
yang memaksa saya mengubah sikap.

Tak lama setelah berita mengejutkan itu, terbetik sebuah kabar yang tak
kalah mengagetkan: seorang pengamat seni menemukan nama “Tony Prabowo”,
komponis itu, sebagai warga masyarakat Facebook. Ini aneh, sebab Tony
sang komponis amat pemalu. Namun setelah dibuka, yang muncul bukan
wajahnya, melainkan seorang lelaki yang kurang “nyeniman” dan kurang
pemalu ketimbang Tony sang komponis. Pria itu memakai sebatang koteka
yang gagah perkasa. Tak diketahui apakah memang ada Tony Koteka, tapi
yang jelas ada Tony yang bukan penggemar busana ke-Timur-an itu, dan
dia merasa resah.

Khawatir bahwa saya akan resah juga, bahwa akan ada nama dan foto saya
dengan pakaian Jawa, sayapun mendaftar Facebook. Sendiri.. Tentu dengan
dipandu teman-teman yang sudah mahir.

Sejak itu saya menemukan satu hal: saya suka jadi warga Facebook, saya
suka tampil, saya suka bergaul, dan saya amat cerewet. Saya jadi bagian
dari satu himpunan pengguna atau anggota Facebook yang diperkirakan
berjumlah sekitar 170 juta di seluruh dunia.

Saya tak tahu persis berapa besar umat itu di Indonesia. Yang saya
tahu, begitu saya “dimasukkan” ke dalam paguyuban ini, saya menemukan
begitu banyak kenalan dan bukan kenalan yang terdaftar sebagai “kawan”.
Karena saya tak telaten, teman saya (syukurlah) tak lebih dari 400. Ada
kenalan yang punya “kawan” sampai 5000.

Mereka umumnya setia dan tekun.

Maka bisalah kita menamakan mereka sebagai bagian dari Jemaah
Al-Fisbuqiyyah. Jemaah ini unik. Setelah saya amati, juga sambil
mengamati diri sendiri, saya melihat ciri-ciri mereka:

(1) tak betah kalau tak berada dekat komputer dengan sambungan internet,

(2) bersedia menghabiskan waktu beberapa jam sekali duduk untuk bercengkerma dengan sesama “kawan”, lama atau pun baru

(3) gemar menulis segala sesuatunya, yang penting dan terutama yang tidak penting.

Mereka umumnya periang. Mereka merasa menemukan sebuah wilayah
tersendiri dengan demokrasi yang praktis penuh: tiap orang, pakar atau
bukan, pintar atau bodoh, dapat mengutarakan pendapatnya dan merasa
sederajat dengan orang lain.

Maka ada yang mengeluh: buat apa mendengarkan pendapat orang-orang yang
tak punya otoritas apapun mengenai satu hal, misalnya soal demam
berdarah, penyu langka, atau Palestina?

Tapi keluhan semacam ini memang datang dari mereka yang belum terbiasa
dengan fasilitas internet. Seorang sejarawan tak resmi dari Tarikat ini
menemukan, bahwa keluhan itu berakar pada pandangan yang tumbuh dari
zaman Hammurabi. Raja Babilon abad ke-18 Sebelum Masehi ini dikenal
sebagai penguasa pertama yang menuliskan hukum secara tertulis.

Sejak itu, teks tertulis dianggap kepanjangan sebuah otoritas yang tak terbantah.

Jemaah Al-Fisbuqiyyah muncul pada zaman pasca-Hamurabi. Teks tertulis
terus dibikin (disebut “posting”, atau “message”), tetapi tak sendirian
lagi seperti Kode Hammurabi yang ditatah di batu.

Teks itu tak sendirian karena tak jarang dicampur dengan gambar atau
musik dan segala yang bersuara. Juga tak jarang bercampur dengan
ciri-ciri kelisanan, misalnya ada “ciileee”, “akhhhh”, “nikh”, dan
lebih sering lagi, “he-he-he-he”. Teks itu juga dikerumuni teks-teks
lain, para anggota al-Fisbuqiyyah lain.

Teks zaman pasca-Hammurabi tak punya otoritas, apalagi yang tak
terbantah. Yang ditulis Fareed Zakaria di Newsweek sama bobotnya dengan
Farid yang bukan Zakaria, misalnya Farid Gaban atau Farid
Gundulpringis. Kalau kita baca The Washington Post On-line, misalnya,
sebuah kolom opini penulis beken selalu disertai satu ruangan di
bawahnya tempat siapa saja bisa berpendapat.

Zaman pasca-Hammurabi atau zaman Tarikat Al-Fisbuqiyah, adalah zaman
“inter-aktif”. Maka di sini orang bisa repartee, tukar menukar lelucon,
saling meledek. Semua berjalan cepat dan – ini yang penting – relatif
murah ketimbang “san-dek” (pesan-pendek atau SMS).

Saya akui bahwa saya dan para anggota Tarikat umumnya suka nampang,
tapi tidak benar pula Facebook, yaitu masjid atau gerejanya Tarikat
Al-Fisbuqiyyah, telah jadi wahana buat narsisme. Ada sebuah tulisan di
The Jakarta Post yang menuduh demikian, tapi yang benar bukanlah
narsisime, melainkan ekshibisionisme. Narcissus mengagumi wajahnya
sendiri di kolam, sendirian. Sedang umat Al-Fisbuqiyyah memperlihatkan
diri ke segala penjuru di mana temannya ada. Dengan catatan, “diri” itu
tentu saja “diri” yang tak lengkap, sudah diedit, bahkan disamarkan.
Dan “teman” tentu saja tak bisa semuanya.

Ada semangat pamer dan juga berbagi. Terkadang sulit untuk sepenuhnya
privat. Kita bisa dipotret waktu sedang tak ingin kelihatan dan
di-“tag” fotonya ke FB oleh teman atau “teman” -- yang ketika disiarkan
lalu dilihat ratusan atau ribuan orang lain yang tak selamanya tahu apa
gerangan konteks adegan dalam foto itu.

Mungkin di sini perlu ada kode etik atau cara buat menghormati yang
privat. Tapi Kitab al-Tag-tag-an, salah satu kitab kuning Tarikat
al-Fisbuqiyyah, belum merumuskan itu.

Akhirnya, apa keuntungan jadi anggota Tarikat? Saya tidak tahu. Mungkin
tak ada. Bahkan ada kantor yang melarang karyawannya sibuk dengan
Facebook, takut mengganggu produktifitas kerja.

Benarkah kegiatan ini membikin banyak teman? Benar dan tidak. Jelas,
saya bertambah kenalan yang menyenangkan. Tapi saya juga melihat ada
orang-orang yang memasang pesan atau komentar atau catatan untuk
menyalurkan agresifitasnya, dengan menghina atau memfitnah. Atau,
dengan menunjukkan kepintaran sendiri, mencemooh orang lain. Umumnya
dengan bahasa Inggris. Kadang-kadang dengan bahasa Jerman. (Belum saya
temukan anggota Tarikat dari Indonesia yang pamer kepinteran dalam
bahasa Hawaii dan Tegal).

Bagi saya, salah satu fungsi jadi anggota Tarikat tak banyak, kecuali
sebagai selingan: membuat saya santai, di tengah-tengah ketegangan
mengerjakan hal-hal yang pelik. Saya hitung 86% dari waktu saya di FB
adalah buat bergurau. Sebagai seorang insomniak yang bersertifikat,
saya menggunakannya buat mengisi waktu ketika sulit tidur. Saya tak
tahan untuk terus menerus melek dan serius. Saya juga tak tahan untuk
berteman dengan orang yang terus menerus melek dan serius.
**

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites